Senin, 06 Juni 2011

hukum islam

hukum islam

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:28
Dalam lingkup hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau Hadits. Namun demikian, adakalanya ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini tidak hanya hukum yang terkait dengan penyelesaian suatu masalah tetapi juga hukum untuk melaksanakan suatu perbuatan, seperti shalat, puasa dan praktek jual beli.

Penggunaan dalil-dalil atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan haruslah mengikuti kaidah-kaidah yang lazim digunakan dikalangan umat Islam. Kaidah-kaidah tersebut terdapat dalam ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk merumuskan hukum atas suatu perbuatan melalui dalil-dalil yang rinci. Pengertian Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Ushul Fiqh berkaitan dengan kaidah atau metode untuk merumuskan hukum tertentu. Sedangkan Fiqh adalah hukum atas suatu perbuatan yang dirumuskan dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Ushul Fiqh yaitu hukum yang berkenaan dengan suatu perbuatan (misalnya, fiqh shalat wajib, fiqh puasa sunah atau fiqh perkawinan).
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadts adalah sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi. Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan sumber-sumber hukum lainnya, diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan, mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana, mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.
Sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas tidak seluruhnya dapat diterima oleh seluruh ulama Ushul Fiqh secara bulat, sumber-sumber hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tidak diperdebatkan dan yang diperdebatkan. Sumber hukum yang tidak diperdebatkan atau diterima oleh seluruh ulama adalah ijma’ dan qiyas. Sedangkan sumber hukum yang masih menjadi perdebatan adalah sumber hukum selain ijma’ dan qiyas. Perbedaan terjadi dikarenakan perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Menurut ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa sesudah wafatnya Rasulullah saw. atas suatu hukum syara’ dalam suatu kasus. Mujtahid adalah orang yang berkompeten untuk merumuskan hukum, sedangkan hukum syara’ adalah hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang yang dibebani hukum). Ijma’ adalah kesepakatan bulat para mujtahid seluruh dunia dengan tidak dibatasi oleh kenegaraan dan kebangsaan, sehingga tidak dianggap sebagai ijma’ apabila ada mujtahid yang tidak setuju walau hanya satu orang. Contoh ijma’ adalah hak waris seorang kakek dalam hal seseorang meninggal dengan meninggalkan anak dan ayah yang masih hidup.
Qiyas adalah menyamakan hukum syara’ satu kasus dengan kasus lain karena keduanya mempunyai persamaan illat atau keduanya mempunyai persamaan penyebab adanya hukum syara bagi masing-masing. Yang dijadikan rujukan adalah kasus yang ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan/atau Hadits, yaitu dengan membandingkan illat-nya atau sebabnya dengan kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Contoh hukum yang ditetapkan dengan qiyas adalah keharaman alkohol dimana alkohol memiliki sifat yang sama dengan khamar, yaitu memabukkan bagi yang meminumnya.
Istihsan adalah tidak mempergunakan qiyas dengan mempergunakan dalil yang lebih kuat dari qiyas, dikarenakan adanya dalil yang menghendaki serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yaitu maslahah dan mursalah yang dipadukan sehingga dapat berarti sebagai suatu perbuatan yang mengandung manfaat, Sedangkan pengertian menurut Ushul Fiqh bermacam-bermacam namun pada intinya memiliki pengertian sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Ghazali, yaitu meraih atau memperoleh manfaat dan menghindari mudarat.
Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang sudah ditetapkan sebelumnya atau yang sudah ada sampai dengan adanya dalil yang dapat mengubah berlakunya hukum yang terdahulu.
‘Urf dapat berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima oleh akal sehat dan ada ulama yang berpendapat bahwa ‘urf adalah sama dengan adat. Namun demikian ulama Ushul Fiqh membedakan antara pengertian ‘urf dengan pengertian adat. Ulama Ushul Fiqh mendefinisikan adat sebagai sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional, sehingga mencakup pengertian yang sangat luas termasuk kebiasaan pribadi orang perorangan. Sedang ‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan.
Syar’u man qablana berarti syariat sebelum Islam. Berkaitan dengan syariat sebelum Islam ulama Ushul Fiqh telah bersepakat bahwa secara umum syariat yang diturunkan Allah sebelum Islam telah dibatalkan secara umum oleh syariat Islam, namun masih ada syariat-syariat sebelum Islam yang berlaku dalam syariat Islam. Syariat yang masih berlaku diantaranya adalah beriman kepada Allah, hukuman qishash dan hukuman atas tindak pencurian.
Mazhab shahabi berarti pendapat para sahabat Rasulullah saw, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat tersebut.. Yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama Ushul Fiqh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.
Dzari’ah berarti jalan menuju sesuatu, sehingga pengertian dzari’ah dapat mencakup sesuatu yang mengarah/membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudharatan, atau yang mengarah kepada kebaikan. Contoh dzari’ah adalah larangan melihat tayangan yang mengandung materi pornografi untuk mencegah terjadinya tindak pemerkosaan atau mendidik anak untuk shalat sejak kecil agar terbiasa menjalankan shalat.

mengenal syariat islam

mengenal syariat islam

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:30
Arti Syariat
Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.
Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).

pengembangan perbankan hukum syari'ah diindonesia

pengembangan perbankan hukum syari'ah diindonesia

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 0:52
Perkembangan Perbankan Islam
Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A’la Al-Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962) .
Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian . Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House .

Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badan-badan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam .
Pada Sidang Menteri Luar Negeri OKI di Benghazi, Libya bulan Maret 1973, usulan sebagaimana disebutkan di atas kembali diagendakan. Bulan Juli 1973, komite ahli yang mewakili negara-negara Islam penghasil minyak bertemu di Jeddah untuk membicarakan pendirian Bank Islam. Rancangan pendirian bank tersebut, berupa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas pada pertemuan kedua, bulan Mei 1972. Pada Sidang Menteri Keuangan OKI di Jeddah tahun 1975 berhasil disetujui rancangan pendirian Islamic Development Bank (IDB) dengan modal awal 2 milyar dinar dan beranggotakan semua negara anggota OKI .
Sejak saat itu mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki. Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Perbankan Islam di Indonesia

Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha menjawab tantangan bagi kebutuhan pembiayaan guna pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah.
Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung.
Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, BMI merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh.
Hukum Perbankan Islam
Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan:
“menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah."
Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”.
Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank.

Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992,
keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal :
  1. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
  2. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional.

Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjian-perjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI.
Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau mengatakan sebagai berikut :
“Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usaha-usaha yang mempergunakan sistem “bunga”.
… Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis).”
Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni :
  1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah;
  2. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah ; dan
  3. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah.
Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni :
  1. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta Asing Bagi Bank Umum Yang Melakukan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang mengatur mengenai kewajiban pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan
  3. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) , yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional.
Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya.

hukum syariat dalam masyarakat yang bhineka

hukum syariat dalam masyarakat yang bhineka

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 0:54
Sejak awal abad ini posisi Islam di antara bangsa-bangsa di dunia terus-menerus diwacanakan. Di dalam negeri sendiri, perkembangan otonomi daerah akhir-akhir ini yang melahirkan berbagai peraturan daerah yang diklaim mengambil inspirasinya dari ajaran Islam juga menjadi wacana.
Dalam pandangan Barat, dua hal yang menjadi perhatian adalah syariah dan jihad. Jihad menjadi perhatian karena kerap dimunculkan sebagai perang suci yang melibatkan kekerasan—meskipun dalam arti lebih luas jihad berarti berjuang di jalan Allah yang berarti tidak semata-mata berupa kekerasan—sementara syariah karena aturan hukum yang akan diterapkan di negara Islam adalah seperti yang diberlakukan di Arab Saudi atau oleh Taliban.
Pandangan seperti di atas setidak-tidaknya muncul di Belanda setelah muncul ketegangan antara imigran Muslim dan masyarakat setempat yang sudah terbiasa memisahkan antara negara dan agama, pada akhir 1990-an. Pemicunya politisi Belanda, Pim Fortuyn, yang mendapat dukungan luas masyarakat untuk menjadi calon perdana menteri sebelum dibunuh Mei 2002 oleh orang dari kelompok kiri yang membawa isu lingkungan. Peristiwa 9/11 pada tahun 2001 memperbesar ketegangan dan polarisasi di masyarakat Belanda.
Situasi di dalam negeri itulah yang menurut Direktur Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development, Universitas Leiden, Belanda, Prof Dr Jan Michiel Otto, yang melatari lembaga independen beranggotakan para ilmuwan di bawah Perdana Menteri Belanda, Wetenschappelijke voor het Regeringsbeleid (Scientific Council for State Policy), melakukan penelitian untuk menguji teori Samuel Huntington pada tahun 1990-an tentang clash of civilization antara peradaban Islam dan Barat.
Sebagian hasil penelitian terhadap hukum di 12 negara Muslim yang sudah dibukukan dalam bahasa Belanda dan akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2007 dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Pluralisme Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Depok beberapa waktu lalu.
Kajian terutama difokuskan pada hubungan antara hukum syariah dan hukum nasional di negara-negara Muslim dan memetakan pengalaman serta peluang untuk membangun sistem yang menjadikan hukum nasional sebagai dasar aturan nasional.
Seperti telah diduga, kajian terhadap 12 negara dengan mayoritas penduduk (setidaknya 55 persen) beragama Islam memperlihatkan sebuah nuansa dalam penerapan syariah dan bahwa masing-masing negara memiliki hukum nasionalnya sendiri sesuai dengan perkembangan ideologi tiap negara-bangsa (lihat tabel).
Ketegangan
Menurut Prof Otto dalam percakapan terpisah di luar konferensi, terdapat empat area hukum di mana ketegangan antara hukum syariah dan hukum nasional terjadi, yaitu menyangkut konstitusi (misalnya, sistem hukum mana yang digunakan, syariah dan hak asasi, apakah demokrasi parlementer bertentangan dengan syariah, kekuasaan negara, dan institusi lain), hukum keluarga (poligami, cerai yang diajukan istri, hak waris perempuan, dan kepatuhan istri pada suami), hukum pidana, dan hukum yang menyangkut ekonomi (larangan terhadap bunga yang dianggap riba dan zakat).
Dengan kajian pada empat area di atas di 12 negara, menurut Prof Otto ada kesamaan yang mencolok, yaitu sepanjang sejarah perkembangan Islam, ketegangan (tension) terus terjadi dengan sistem-sistem normatif yang sudah ada. Ketegangan ini dapat berujung pada perebutan pengaruh yang terus- menerus, tetapi juga dapat berdamai dan saling mempertukarkan ide.
Ketegangan antara hukum adat dan syariah masih terus berlangsung saat ini. Seorang peneliti, Nadjma Yassari, yang baru kembali dari penelitian di Afganistan, menurut Prof Otto, menemukan, untuk perempuan pedesaan Afganistan, hukum adat setempat memperlakukan perempuan jauh amat buruk daripada interpretasi syariah paling konservatif sekalipun.
Ketegangan yang lain terjadi antara syariah klasik yang diinterpretasi para ulama dengan hukum dari raja/sultan pada masa awal berdirinya kerajaan/negara Muslim. Para raja selalu memiliki kekuasaan (siyasa) membuat hukum (kanun) untuk kepentingan masyarakat (maslahat). Dualisme hukum itu masih tampak saat ini di dalam konstitusi kontemporer, dan tidak jarang raja dan negara mengharapkan dukungan ulama konservatif untuk merestui pemerintahan mereka.
Bentuk ketegangan ketiga adalah antara kelompok puritan dan pemimpin negara yang manifestasi pertamanya muncul pada masa pemerintahan Bani Umayah. Bentuk ketegangan ini masih terus terjadi hingga kini.
Di luar negara, ketegangan terjadi bersamaan dengan meluasnya kolonialisme negara-negara Eropa dan sejak tahun 1800 pengaruh kolonial terhadap hukum di Asia dan Afrika terus meningkat. Pemerintah kolonial mengakui hukum yang berdasar agama dan hukum adat meskipun tetap dalam bingkai hukum Barat. Hal ini kembali menimbulkan dualisme hukum.
Kejatuhan pada tahun 1920 Kekaisaran Ottoman yang menguasai hampir seluruh Timur Tengah memunculkan negara-negara baru. Syariah lalu mengalami ketegangan ketika berhubungan dengan hukum nasional yang diciptakan pemimpin politik negara yang baru terbentuk itu. Kecuali Arab Saudi, negara-negara baru itu mencoba mentransformasi hukum mereka menjadi hukum modern, sekuler, dan berdimensi sosialis. Tetapi, proses liberalisasi dan demokratisasi yang mulai terjadi sejak 1970-an sebagai reaksi atas kegagalan sosialisme yang represif, sentralisasi, dan pemerintah yang dominan, memberi ruang untuk liberalisme ekonomi dan politik, tradisi, serta syariah, dan perebutan posisi syariah di tingkat nasional mendapat dimensi internasional.
Indonesia
Kumpulan dari penelitian ini, menurut Prof Otto, tidak membuktikan tesis Huntington, yaitu adanya perluasan cepat hukum syariah yang ekstrem dalam 20 tahun terakhir ke dalam hukum nasional di Negara-negara Muslim. Menurut penelitian ini, klimaks masuknya syariah pada hukum nasional terjadi pada tahun 1972-1985, dan sesudahnya hal itu tidak lagi terjadi.
Contoh di Mesir, misalnya, pada tahun 2000 diberlakukan hukum keluarga yang lebih progresif, yaitu diperluasnya memungkinkan perceraian (khul) oleh perempuan. Di Iran, pada tahun 1928 poligami dilarang dan setelah Revolusi Islam (1979) Khomeini pada tahun 1988 mengeluarkan fatwa bahwa konsep maslahat yang mendahulukan kepentingan publik memungkinkan negara atau partai yang berkuasa membuat aturan yang lebih berwenang daripada peraturan lain, termasuk syariah. Di Pakistan, pada tahun 1981 mahkamah syariah federal melarang menghukum dengan melempar batu, dan pada tahun 2000 mahkamah yang sama menetapkan pelarangan syariah atas bunga tidak dapat menghilangkan kewajiban kontrak dan harus dipenuhi.
Melihat pengalaman dari berbagai masyarakat, termasuk penelitian yang dilakukan oleh para peneliti antropologi hukum di Aceh, Mingkabau, Maroko, atau Afrika Selatan, di dalam masyarakat kenyataannya yang terjadi adalah pluralisme hukum (polinormativisme).
Praktik hukum sehari-hari di masyarakat yang sedang berubah, termasuk di negara-negara Muslim, umumnya selalu dibentuk oleh elite politik yang pragmatis dan mayoritas masyarakat basis yang tidak bersuara yang juga pragmatis. Keinginan menerapkan hukum syariah di negara-negara Muslim hanya muncul ketika ada ketidakpuasan terhadap keadaan sosial-ekonomi, serta pemerintahan beserta ideologi, hukum, dan praktik yang dijalankan negara. Saat ini, situasi seperti itulah yang terjadi, ditambah solidaritas pada masyarakat Muslim yang menjadi korban dari Barat atau militer Barat seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Palestina, yang terakhir antara Israel dan masyarakat sipil Lebanon.
Mengenai situasi di Indonesia, terutama dengan munculnya perda-perda bernuansa syariah setahun terakhir, Prof Otto mengatakan, memang penelitian harus terus dilakukan. Tetapi, sepanjang perda itu melarang perjudian, pelacuran, dan minuman keras, sebetulnya itu tidak ada bedanya dari penerapan apa yang dilarang oleh KUHP.
Karena itu, membuat kajian yang ilmiah, komprehensif, dan sistematis merupakan tantangan bagi para ilmuwan hukum, antropologi, dan sosial Indonesia untuk memaknai perubahan yang terjadi setelah otonomi daerah dan globalisasi, untuk memberi arah perkembangan bangsa yang seperti terombang-ambing saat ini.

apasih hukum syariah itu

apasih hukum syariah itu

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 0:56
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah
turunkan, jangan mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah Allah turunkan  kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka karena sebagian dosa-dosa
mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS
al-Maidah [4]: 49).

 Sabab Nuzûl

Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il
meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya, dan
Syasy bin Qais berkata, “Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad,
mudah-mudahan kita dapat memalingkan dia dari agamanya.”
Sesampai di tempat Nabi saw. mereka berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya
engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang
terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya
orang-orang Yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak
kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka
untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang
memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, niscaya kami akan beriman
kepadamu dan membenarkanmu.”
Nabi saw. menolak permintaan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49-50.1

 Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa an[i]hkum baynahum bimâ anzala Allâh (Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan penegasan (ta’kîd)
terhadap perintah dalam ayat sebelumnya agar berhukum Nabi saw. dengan apa
yang diturunkan Allah Swt. dan larangan menyalahinya.2 Pengulangan itu
untuk menjadikan perintah tersebut menempati  ghayât at-ta’kîd (puncak
penegasan).3
Sebagian mufassir lainnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut
mereka, ayat ini tidak mengulangi ayat sebelumnya, namun turun pada topik
yang berbeda. Jika ayat sebelumnya turun berkenaan dengan hukuman rajam
atas pelaku zina muhshan, ayat ini turun berkenaan dengan darah dan
diyat.4
Pihak yang diperintah ayat ini adalah Rasulullah saw. Meskipun demikian,
perintah tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Sebab, khithâb
(seruan) kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya, selama tidak ada
qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah ini hanya khusus untuk
Beliau.
Dalam hal ini, pihak yang menjadi obyek penerapan hukum, yang diungkapkan
dengan menggunakan dhamir hum (kata ganti mereka), adalah Yahudi. Demikian
kesimpulan para mufassir seperti al-Thabari, Abu Hayyan al-Andalusi,
al-Qinuji, al-Wahidi al-Naysaburi, dan lain-lain.5 Kesimpulan tersebut
amat tepat jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini dan ayat-ayat
sebelumnya.
Kata bimâ anzala Allâh (menurut apa yang telah Allah turunkan) tidak bisa
dilepaskan dengan ayat sebelumnya, bahwa yang Allah turunkan kepada
Rasulullah saw. adalah al-Kitab. Setelah Allah Swt. memberitakan bahwa
kepada Nabi Musa as. diturunkan at-Taurat dan kepada Nabi Isa as.
diturunkan Injil, maka kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan al-Kitab atau
al-Quran. Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah saw. dan
umatnya dalam memutuskan perkara adalah yang bersumber dari al-Quran.
Dengan demikian, ayat ini mewajibkan kaum Muslim agar memutuskan perkara
dengan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pihak yang wajib
menjadi obyek penerapan hukum syariah tersebut tidak terbatas kaum Muslim
saja, namun juga kaum kafir. Menurut sebagian mufassir, ketentuan ini
me-nasakh (membatalkan hukum) QS al-Maidah ayat 42 yang memberikan pilihan
kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara kaum kafir atau tidak.6 Dalam
ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Fahkum baynahum aw a‘ridh ‘anhum
(Putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).
Mufassir dan fukaha lainnya tidak melihat adanya nâsikh-mansûkh dalam
kedua ayat tersebut. Sebab, untuk memasukkan sebuah ayat telah di-naskh
oleh ayat lain diperlukan qarînah (indikasi) yang jelas. Dalam kedua ayat
tersebut tidak ada qarînah yang jelas yang menunjukkan tentang itu.
Memang, secara lahiriah terlihat adanya pertentangan di antara keduanya.
Akan tetapi, sekadar tampak bertentangan secara lahiriah tidak otomatis
menunjukkan adanya nâsikh-mansûkh.  Masih ada kemungkinan lain yang
membuat kedua dalil tersebut justru sama-sama dapat digunakan. Kemungkinan
ini didapat dengan cara mendudukkan kedua dalil itu pada kedudukan dan
obyek masing-masing sehingga menjadi tidak bertentangan. Cara semacam ini
dikenal dengan al-jam‘u bayna al-dalîlayn (mengkompromikan dua dalil).
Inilah cara yang ditempuh oleh Imam asy-Syafii. Menurut asy-Syafii, kedua
ayat itu tidak bertentangan. Jika ayat pertama berkenaan dengan kafir
mu‘âhid (kaum kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam), ayat
kedua tentang kafir dzimmi (kaum kafir yang menjadi warga Daulah
Khilafah).7Pendapat senada disampaikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Menurut an-Nabhani, ayat pertama berkaitan dengan kaum kafir yang hidup di
luar wilayah Negara Islam, yakni jika ada di antara sesama kaum kafir
tersebut terlibat perselisihan dan meminta Negara Islam untuk memutuskan
perkara di antara mereka. Dalam hal ini, kaum Muslim berhak memilih antara
memutuskan hukum atau berpaling darinya. Kesimpulan ini didasarkan pada
sabab nuzûl ayat ini yang berkait dengan kaum Yahudi di Madinah yang
datang kepada Nabi saw. meminta keputusan hukum. Mereka adalah sebuah
kabilah,  yang dapat dianggap sebagai negara lain.8
Adapun ayat kedua berkaitan dengan kaum kafir yang tunduk kepada
Pemerintahan Islam dengan menjadi kafir dzimmi, musta’min (meminta
perlindungan), atau orang kafir secara sukarela masuk ke wilayah Negara
Islam untuk menjadi mu‘âhid dan musta’min.9 Tampaknya, pendapat inilah
yang râjih (kuat).
Patut dicatat, meskipun para mufassir dan fukaha berbeda pendapat tentang
ada-tidaknya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat itu, mereka tidak berbeda
pendapat akan wajibnya penerapan hukum syariah terhadap non-Muslim.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa lâ tattabi‘ ahwâ’ahum (dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka). Kata al-hawâ, sekalipun kadang-kadang
digunakan untuk sesuatu yang terikat dengan kebaikan, pada galibnya
digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada kebaikan.10 Jika
dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini, hawa nafsu yang dimaksudkan memang
mengandung makna negatif. Karena itu, frasa ini dapat dipahami sebagai
penegasan terhadap perintah sebelumnya. Ath-Thabari menyatakan, “Ini
merupakan larangan Allah kepada Nabi Muhammad saw dari mengikuti hawa
nafsu kaum Yahudi yang meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus
orang-orang terbunuh dan fasik mereka, sekaligus perintah tetap konsisten
dengan Kitab yang diturunkan Allah kepada beliau.11
Selanjutnya Allah berfirman: wahdzarhum an yaftinûka ‘an ba’dh mâ
anzalaLlâh ilayka (dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu).
Menurut Ibnu Abbas12 dan Abu Ubaidah,13yang dimaksud dengan yaftinûka
(memfitnah kamu) adalah mengembalikanmu pada hawa nafsu mereka. Sebab,
setiap orang yang terpalingkan dari kebenaran pada kebatilan berarti telah
terfitnah.
Frasa ini memberikan peringatan terhadap kaum Muslim untuk berhati-hati
terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari
sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada mereka. Dalam ayat ini
disebutkan: ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dari sebagian yang diturunkan
Allah kepadamu). Jika berpaling dari sebagian saja tidak boleh, apalagi
semua. Oleh karenanya, menurut al-Jashshah dan az-Zuhaili, kata al-ba‘dh
(sebagian) bermakna al-kull (keseluruhan). Dengan demikian, frasa tersebut
bermakna: ‘an kulli mâ anzalaLlâh ilayka (dari seluruh wahyu yang telah
Allah turunkan).14
Allah Swt. mengingatkan: Fa in tawallaw fa‘lam annamâ yurîdullâh an
yushîbahum bi ba‘dhi dzunûbihim (jika mereka berpaling [dari hukum yang
telah diturunkan Allah] maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
berkehendak akan menimpakan musibah atas mereka disebabkan sebagian
dosa-dosa mereka).
Makna kata tawallaw adalah sikap berpaling dari hukum yang diturunkan
kepada Rasulullah saw. dan justru menginginkan hukum lainnya.15 Menurut
al-Alusi dan al-Wahidi an-Naysaburi maknanya lebih luas, yaitu berpaling
dari keimanan dan berhukum dengan al-Quran.16
Dalam frasa ini ditegaskan, mengabaikan hukum Nabi saw. dan berpaling
darinya menjadi sebab ditimpakannya musibah di dunia.17 Disegerakannya
azab di dunia itu karena pembangkangan mereka yang melakukan sebagian
dosa.18  Menurut Sulaiman al-Ajili, jika dalam ayat ini disebutkan bi
ba‘dhi dzunûbihim, karena memang hukuman yang diberikan kepada mereka di
dunia hanya pada sebagian dosa, seperti pembunuhan, penawanan, atau
pengusiran. Adapun hukuman atas keseluruhan dosa ditimpakan di akhirat
kelak.19
Menurut Ibnu Mas‘ud, makna bi ba‘dhi dzunûbihim (disebabkan sebahagian
dosa mereka) adalah dosa berpalingnya mereka dari hukum Allah Swt. Hal itu
untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai banyak dosa, namun
dari semua dosa itu ada yang amat besar. Secara tersirat, ungkapan ini
menunjukkan besarnya dosa berpaling dari hukum-Nya.20
Allah Swt. menutup ayat dengan firman-Nya: Wa inna katsîran min al-nâs
lafâsiqûn (dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik). Frasa ini menunjukkan, tindakan berpaling dari hukum Allah Swt.
dapat dikategorikan sebagai fisq,21orangnya disebut fâsiq. Kata fasiq
dapat dimaknai sebagai orang yang keluar dari ketaatan.22
Dalam frasa ini diberitakan, sebagian besar manusia tergolong sebagai kaum
fasik. Kenyataan ini banyak diungkap dalam al-Quran (Lihat, misalnya: QS
Yusuf [10]: 103; QS al-An‘am [6]: 116).

 Beberapa Pelajaran

Ayat ini berbicara tentang penerapan syariah di tengah-tengah kehidupan.
Ada beberapa hal penting yang bisa dicatat:
Pertama: wajibnya penerapan syariah. Syariah itu wajib diterapkan tidak
hanya kepada kaum Muslim, namun juga kepada kaum kafir. Asal mereka
menjadi warga Daulah Khilafah, syariah wajib diterapkan atas mereka.
Memang, ada beberapa perkara yang dibedakan di antara mereka, namun
perbedaan hukum itu memerlukan dalil khusus yang mengecualikannya.
Syariah yang wajib diterapkan juga harus total. Peringatan kepada Nabi saw
agar berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang memalingkan Beliau dari
sebagian hukum yang diturunkan-Nya menunjukkan makna demikian.
Kedua: akibat berpaling dari syariah. Ayat ini memberikan ancaman keras
kepada setiap orang yang menolak syariah-Nya. Ancaman itu berupa adanya
musibah yang ditimpakan kepada pelakunya. Musibah itu tidak hanya akan
diterima di akhirat kelak, namun juga di dunia. Hukuman di dunia ini
seharusnya membukakan mata mereka, bahwa menolak syariah hanya akan
menyebabkan kesengsaraan manusia. Semestinya hal itu membukakan mata
mereka yang menolak syariah.
Ketiga: kebenaran tidak selalu sejalan dengan suara terbanyak. Bahkan ayat
ini menyebut sebagian besar manusia terkategori fasik. Oleh sebab itu,
wajar hukum yang wajib diterapkan adalah yang berasal dari-Nya, yang pasti
dijamin kebenarannya, bukan hukum buatan manusia.

pengertian syariah dan fiqih

pengertian syariah dan fiqih

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:08
Salah satu argumentasi yang kerap dilontarkan kelompok liberal-sekuler untuk menolak syariah Islam adalah dekonstruksi makna syariah dan fikih. Syariah disebut memang berasal dari Allah SWT sementara fiqh adalah hasil pikiran manusia yang lepas dari syariah. Pada gilirannya dikatakan penerapan hukum Islam oleh negara adalah sekedar persoalan fiqh, karenanya tidak berhubungan dengan Allah SWT. Berikut ini kami memaparkan makna syariah dan fiqh berdasarkan pandangan ulama. Intinya fiqh tidak bisa dilepaskan dari syariah Islam . Fiqh adalah adalah syariah Islam yang berdasarkan dalil yang rinci yang tetap bersumber pada Al Qur’an dan as Sunnah. Fiqh bukanlah semata-mata hasil pikiran manusia yang tidak berpijak pada hukum syara’ yang bersumber dari al Qur’an dan as Sunnah. Jadi yang menolak fiqh adalah juga berarti menolak syariah Islam.

Menelusuri Kembali Makna Fikih dan Syariat
Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5. Lihat juga: Imam al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9). Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm). (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5).
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî). (An-Nabhani, ibid., III/5).
Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah. (Al-Amidi, op.cit., I/9).
Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).
Sedangkan syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, op.cit., III/31).
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-mukallafîn. (Al-Amidi, op.cit.)
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd (Al-Amidi, ibid., I/70-71).
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.
Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia. Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci. Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali secara khusus. (Al-Ghazali, op.cit., hlm. 5). Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ yang berhubungan dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidhâ‘, takhyîr, maupun wadh‘i.
Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya.

penerapan syariat islam diaceh

penerapan syariat islam diaceh

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:18
2.1.1 Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam bersumber dari agama Islam yang diturunkan langsung dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam Al Quran dan As Sunnah. Kerangka dasar agama dan ajaran Islam adalah akidah, syariah, dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akidah yang kemudian melahirkan syariah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku, baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya lainnya.
Iman dan Ihsan atau tasawuf merupakan manivestasi dari akidah. Iman yang berarti kepercayaan Islam merupakan pokok-pokok agama Islam (Ushul ad-Din). Menurut ahlul sunnah wal jamaah, iman Islam terdiri dari rukun iman yang berjumlah enam, yaitu iman kepada Allah SWT, malaikat, nabi dan rasul, kitab-kitab, hari akhir, serta qadha dan qadar. Ihsan yang berarti kebaikan, merupakan etika Islam. Adapun iman, amal (saleh), akhlak atau budi perketi luhur adalah syarat-syarat dari Ihsan². Sedangkan tasawuf bertujuan sama dengan ihsan, tetapi menganut cara-cara yang berbeda seperti pada orang sufi yang melakukan panteisme dengan tujuan bersatu dengan Tuhan, namun cara yang digunakan tidak sesuai lagi dengan islam dan aliran sunnah wal jamaah. Namun demikian, tidak semua cara dalam sufi bertentangan dengan akidah tauhid Islam. Hal tersebut diakibatkan oleh hasil pemahaman, pendalaman, penafsiran, serta perincian para ulama tentang akidah mempunyai kecenderungan berbeda-beda yang menimbulkan aliran-aliran atau mahzab-mahzab tertentu di kalangan umat Islam
Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
²Syahar Saidus, Asas-asas hukum Islam, cet. Kesatu (Jakarta: Penerbit Alumni, 1996) hal 25.

2.1.2 Pengertian Syariat Islam
Syariat dalam pengertian etimologis adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya³. Norma ilahi tersebut berupa ibadah yang mengatur tata cara dan upacara hubungan langsung dengan Tuhan, dan muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat
Ibadah berkaitan dengan rukun Islam, yakni syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Dalam norma tersebut, tidak boleh ada penambahan dan pengurangan sebab tata hubungan dengan Tuhan telah pasti ditetapkan oleh Allah SWT sendiri yang dijelaskan kemudian secara rinci oleh rasul-Nya. Dengan demikian, dalam ibadah tidak diperbolehkan adanya pembaruan atau bid’ah, yaitu proses yang membawa perubahan (penambahan atau pengurangan) mengenai kaidah, susunan, dan tata cara beibadah sesuai dengan perkembangan zaman.
Muamalah, hanya pokok-pokoknya saja yang ditentukan dalam Al-Qur’an dan As sunnah, sedangkan perinciannya terbuka bagi akal manusia yang memenuhi syarat untuk berijtihad untuk mengaturnya lebih lanjut dalam menentukan kaidahnya menurut ruang dan waktu (yang dimanifestasikan berupa hukum positif). Kaidah-kaidah muamalah terbagi atas kaidah yang mengatur hubungan perdata dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan publik. Dalam hubungan perdata terdapat hukum munakahat atau hukum perkawinan, wirasah atau hukum kewarisan, dan hukum perdata lainnya, sedangkan dalam hubungan publik terdapat hukum jinayat atau hukum pidana, khilafah atau al-ahkam as-sulthaniyah atau hukum tata Negara, syiar atau hukum internasional, serta mukhasamat atau hukum acara.
Ilmu khusus yang memahami, mendalami, dan merinci syariat, baik ibadah maupun muamalah, agar dapat dirumuskan menjadi norma hidup (kaidah konkret) yang dapat dilaksanakan manusia muslim baik sebagai manusia pribadi maupun sebagai anggota kehidupan sosial, disebut ilmu fiqih. Ilmu fiqih terbagi atas fiqih ibadah dan fiqih muamalah. Hasil pemahaman tentang syariat yang disebut hukum fiqih dapat berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya. Itulah yang memungkinkan terjadinya syariat Islam di Aceh yang tidak dimiliki oleh syariat yang berkembang di daerah lain.
³Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Ketiga Belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 34.

2.1.3 Pengertian Hukum Adat
Hukum adat menurut istilah adalah adatrecht, yaitu hukum rakyat, hukum agama, hukum kebiasaan, dan hukum tidak tertulis, yang menurut Snouck Hurgronje disebut sebagai aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Menurut Van Vollen Houven, hukum adat berasal dari aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat dimana aturan-aturan tersebut diikuti oleh seluruh masyarakat yang apabila dilanggar akan dikenakan sanksi yang memaksa. Dengan demikian, hukum adat adalah kebiasaan adat istiadat yang tidak terkodifikasikan, akan tetapi apabila dilanggar akan dikenakan sanksi sehingga menimbulkan akibat hukum.
Hukum adat menurut Ter Haar, merupakan hukum yang menjelma dalam keputusan masyarakat, dimana berawal dari kebiasan (yang didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat) yang oleh masyarakat dikehendaki untuk berlaku pada masyarakatnya sehingga ditambahkan sanksi yang memaksa kedalamnya. Setelah itu keputusan masyarakat tersebut termanifestasikan dalam keputusan penguasa adat (secara formil). Tidak ada hukum adat yang lahir diluar keputusan, sehingga jika belum terdapat keputusan penguasa, maka belum dikatakan hukum adat.
Proses terbentuknya hukum adat secara sosiologis (menurut Soerjono Soekanto) adalah dimulai dengan sifat manusia yang tidak dapat hidup sendiri yang kemudian melakukan interaksi baik dengan orang lain maupun dengan lingkungan guna memenuhi kebutuhannya. Interaksi tersebut kemudian menjadi pengalaman yang dinilai baik dan buruk. Kemudian pengalaman tersebut berubah menjadi sistem nilai, yaitu pandangan baik atau buruk, adil atau tidak adil, dan patut atau tidak patut. Sistem nilai ini dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu agama, pengetahuan, dan pergaulan. Disinilah pengaruh hukum Islam masuk ke dalam hukum adat yang ada pada masyarakat Aceh. Sistem nilai yang telah bercampur dengan hukum Islam tersebut ternyata dipandang baik oleh masyarakat Aceh, kemudian terbentuklah pola pikir mengenai bagaimana interaksi selanjutnya yang harus dilakukan oleh masyarakat Aceh tersebut. Setelah itu, muncullah sikap (kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat), dimana masyarakat Aceh memilih cenderung untuk berbuat dengan berperilaku sesuai dengan hukum Islam dalam hukum adat mereka tersebut. Kemudian dimanifestasikanlah sikap tersebut dalam perilaku mereka, yang dilakukan berulang-ulang serta terus-menerus yang kemudian disebut kebiasaan. Kebiasaan mereka pun berlaku bagi orang banyak sehingga merupakan kebiasaan umum yang kemudian menjadi norma dimana norma yang selanjutnya terbentuk adalah norma antar pribadi yaitu norma hukum. Disinilah proses terakhir dimana kebiasaan masyarakat Aceh yang telah terpengaruh oleh hukum Islam dalam hukum adat mereka tersebut kemudian menjadi hukum nasional Aceh yang disahkan dengan UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.

2.2 Analisis
2.2.1 Hubungan Syariat Islam dengan Hukum Adat
Syariat Islam merupakan salah satu kerangka dasar hukum Islam. Berdasarkan sejarah, hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang lahir lebih dahulu dari hukum Islam di Indonesia. Pada jaman penjajahan Belanda, hukum Islam menjadi adatrecht politik yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Indonesia untuk menempatkan hukum Islam dibawah hukum adat, salah satunya adalah ajaran yang dibawa oleh Snouck Hurgronje mengenai teori resepsi. Dalam teori tersebut, hukum Islam telah diterima secara teori, tapi sering dilanggar secara praktek sebab dalam masyarakat, hukum Islam tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum adat karena dalam hukum adat masuk unsur-unsur hukum Islam, sedangkan pada masyarakat adat sendiri hukum Islam yang berlaku bukan lagi hukum Islam sebab sudah menjadi hukum adat. Asumsi dasarnya adalah hukum adat merupakan sistem hukum yang hidup dan diaplikasikan dalam masyarakat, sementara hukum Islam hanya sistem yang bersifat teoritis, walaupun sebagian besar masyarakat beragama. Kemudian Rasjidi menanggapi bahwa Snouck Hurgronje telah keliru, sebab dalam hukum apapun, hukum yang telah diterima oleh teori apabila terdapat faktor-faktor tertentu, maka mungkin untuk terjadinya pelanggaran di dalam prakteknya.
Hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat, menurut Hazairin, terbentuk oleh keseluruhan norma kesusilaan yang sanksinya dapat dipaksakan. Norma awal yang tumbuh adalah norma kesusilaan perorangan berupa Jaiz atau kebolehan yang dalam setiap kebolehan tidak terdapat sanksi. Setelah terjadi penilaian oleh masyarakat, jaiz berubah menjadi sunnah apabila dinilai baik sehingga dianjurkan untuk dilakukan, tetapi menjadi makruh apabila dinilai buruk sehinggar dianjurkan untuk tidak dilakukan. Setelah ditambahkan sanksi yang memaksa, maka sunnah berubah kedudukan menjadi wajib yaitu keharusan untuk dilakukan, sedangkan makruh berubah kedudukan menjadi haram yaitu larangan yang tidak boleh dilakukan. Pada tahap inilah kemudian norma kesusilaan telah menjadi norma hukum.
Dalam hubungannya, para ahli etnologi, antropologi, dan hukum adat menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kedudukan keagamaan4.
4Zuhri Muhammad, Hukum Islam dalam lintasan sejarah, cet. Kesatu (Jakarta: Praja Grafindo persada, 1996) hal.143
Hal itu disebabkan bahwa hukum Islam mempengaruhi hukum adat. Hukum adat didasari atas prinsip magis religius yang merupakan pengaruh langsung dari agama, contohnya mengenai aliran animisme dan dinamisme yang dianut oleh bangsa Indonesia.
Menurut A Johns, ia meyakini bahwa doktrin Islam telah memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan kerajaan. Hal ini benar khususnya di Aceh dan Malaka selama masa-masa awal Islam Asia Tenggara5. Ilmuan lain yang mengikuti pandangan tersebut berpendapat walau kekuatan adat lokal telah termanifestasikan dalam masyarakat Indonesia, namun hukum Islam juga efektif pada level komunal dan berhasil memodifikasikan beberapa praktek hukum, terutama dalam bidang-bidang dalam keluarga dan nilai nilai sosial. Inilah yang menjadi dasar syariat Islam sebagai manivestasi dari hukum Islam mampu diberlakukan dalam pranata sosial masyarakat Aceh dalam hakikatnya merupakan propinsi di Indonesia yang juga tunduk pada hukum nasional Indonesia
Menurut dialog yang saya adakan dengan dosen hukum adat saya, ibu Meliyana Yustikarini S.H., M.H, beliau menyoroti syariat Islam yang menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat aceh, disebabkan oleh hukum Islam yang datang pada awal masuknya Islam, yaitu sekitar abad ke 11 melalui samudera Pasai, yang kemudian mampu diterima oleh masyarakat Aceh pada saat itu, sebab tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum adat mereka. Hukum Islam tersebut kemudian mengakar secara turun temurun sehingga menjadi kesatuan yang tidak terpisahkan dengan hukum adat tersebut. Kemudian dalam perkembangannya, masyarakat Aceh memutuskan untuk memiliki otonomi daerah yang membuat hukum mereka tersebut diakui dan dilegalkan oleh negara menjadi hukum tertulis mereka. Sehingga berdasarkan pengertiannya, masyarakat Aceh sama dengan masyarakat hukum adat.
Selain itu, beliau juga menambahkan bahwasanya saat Islam masuk ke Indonesia pertama kali melalui Aceh (Samudera Pasai), para politikus Belanda, yang salah satunya adalah Snouck Hurgronje, melakukan penelitian yang mendalam mengenai Islam beserta hukumnya. Penelitian yang dilakukan Snouck Hurgronje tersebut dilakukan di Aceh. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mencari dan menemukan kelemahan Islam yang digunakan sebagai politik bangsa Belanda agar masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam tetap tunduk dan patuh dengan bangsa Belanda.
5Lukito ratno, Pergumulan antara hukum Islam dan adat di Indonesia, cet. Kesatu (Jakarta: Perpusnas Katalog dalam Terbitan (KDT), 1998) hal.43

2.2.2 Keberlakuan Syariat Islam di Indonesia
Syariat Islam diterima di Indonesia disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan pertama adalah alasan sejarah dimana Islam masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 (berdasarkan catatan Marcopollo) atau sekitar abad ke-11 berdasarkan prasasti yang ada di Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwasanya Islam telah mengakar di Indonesia sejak lama sehingga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia.
Alasan kedua adalah Alasan penduduk. Menurut sensus, 88,09% penduduk Indonesia adalah Islam (sensus tahun 1980), sehingga jelas mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Hal tersebut menyebabkan syariat Islam mudah diterima di Indonesia.
Alasan ketiga adalah alasan yuridis dimana hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat, menjadi hukum positif yang berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Materi-materi hukum Islam merupakan bagian dari hukum positif Indonesia sebagaimana yang dinyatakan oleh ordonasi dan peraturan pemerintah yang mengatur peradilan agama antara lain pada undang-undang pokok perkawinan UU No. 1 tahun 1974, UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf, UU No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, pasal-pasal dalam KUHPerdata yang mengatur tentang kewarisan, serta peraturan-peraturan lainnya.
Alasan yang terakhir adalah alasan konstitusional. Di bawah Bab Agama, dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa Negara (Republik Indonesia) berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa6. Atas dasar inilah dalam NKRI tidak boleh berlaku sesuatu atau bertentangan dengan kaidah Islam bagi umat Islam, kaidah Nasrani bagi umat Nasrani, kaidah Hindu bagi umat Hindu, dan kaidah Budha bagi umat Budha, serta NKRI wajib menjalankan syariat Islam bagi umat Islam, syariat Nasrani bagi umat Nasrani, dan seterusnya, dimana untuk menjalankan syariat tersebut diperlukan perantaraan kekuasaan negara

2.2.3 Penerapan syariat Islam di Aceh
Aceh sejak dulu tidak berhubungan dengan Belanda, namun dipaksa melaksanakan hukum pidana (wetboek van straftrecht) dan hukum perdata (burgerlijk wetboek), sebab merupakan hukum nasional bangsa Indonesia dimana Aceh merupakan territorial Indonesia sehingga wajib tunduk pada hukum tersebut. Namun, pancasila dan UUD 1945 yang menjadi konstitusi Indonesia ternyata berlandaskan agama yang tertuang dalam pembukaan dan batang tubuh UUD serta sila pertama dalam pancasila. Selain itu dilatarbelakangi oleh sejarah bahwa hampir semua tokoh pejuang Aceh berasal dari kalangan ulama, menjadikan masyarakat Aceh mampu menjalankan dan mempertahankan kedudukan dan harkat serta ciri khas bangsa Indonesia yang religius dan memegang kuat adat dalam tatanan hukum yang berlaku di wilayah mereka.
6 Daud Ali Muhammad, Hukum Islam: Pengantar ilmu hukum dan tata hukum Islam di Indonesia, cet. Ketiga belas (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006) hal 7.
Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dan pasal 18 UUD 1945, propinsi Aceh resmi ditetapkan sebagai daerah istimewa. Kemudian ditetapkanlah UU No. 24 tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh. Propinsi Aceh berdasarkan UU No.44 Tahun 1999 memiliki empat keistimewaan, yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama, penyelenggaraan kehidupan adat, penyelenggaran pendidikan, serta peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Pada era reformasi, TAP MPR No. IV tahun 1999 tentang GBHN menegaskan daerah istimewa Aceh sebagai daerah otonomi khusus guna mempertahankan integrasi bangsa dan menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan seni budaya. Selanjutnya GBHN ditindaklanjuti oleh UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Indonesia merupakan negara hukum, maka pelaksanaan otonomi khusus seharusnya diatur berdasarkan UU khusus bagi Aceh, sehingga pada tanggal 9 Agustus 2001 ditetapkan UU No.18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus daerah istimewa Aceh sebagai propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kemudian diperbaharui oleh UU No.11 tahun 2006 yang mengamanatkan pemberlakuan syariat Islam di seluruh wilayah propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Keppres No.11 tahun 2003 tentang mahkamah syari’ah dan mahkamah syari’ah propinsi lahir guna melaksanakan hukum Islam yang menentukan wewenang dari mahkamah syari’ah yang selanjutnya ditetapkan beberapa peraturan daerah (qanun). Pelaksanaan syariah oleh mahkamah syariah diatur dalam Qonun No.10 Tahun 2002 tentang peradilan syariat Islam dan Qonun No.11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat Islam di bidang akidah, ibadah, dan syiar Islam yang salah satu ketentuannya adalah kewajiban berbusana Islami bagi pemeluk muslim di seluruh wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Namun belum ada ketentuan hukum acara mengenai tata cara hukum acara Qonun tersebut. Kedua Qonun tersebut diistilahkan dalam bahasa fiqh sebagai Qonun formil, sedangkan Qonun materil belum disahkan. Hal ini menunjukkan kekosongan hukum yang membuat tersangka dapat lepas dari jeratan hukum, sehingga dalam Qonun No.10 Tahun 2002 kekosongan ini diatasi dengan tetap memberlakukan KUHP sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa mahkamah syariah hanya menerapkan setengan syari’at Islam di Aceh.
Pelaksanaan syariat Islam yang tidak ditetapkan sepenuhnya disebabkan oleh perbedaan pendapat para ahli. Contohnya adalah Qonun jinayat yang tidak konsisten dimana landasan argumentasinya tidak jelas rujukannya, asal dalam mengambil rujukan dari Hukum Pidana islam dan KUHAP. Selain itu yang membuat fatal adalah Qonun ini dikeluarkan di Aceh yang merupakan wilayah Negara republik Indonesia sehingga bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Qonun juga ingin diberlakukan pada orang diluar agama Islam, padahal hal tersebut melanggar hak asasi manusia dalam menjalankan agama sesuai kepercayaannya masing-masing, maka Qonun ini melanggar ayat lakum dinukum wa liya din yang artinya bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.
Penerapan hukum pidana Islam pada mahkamah syariah mempengaruhi tatanan pola hukum secara keseluruhan di Indonesia, karena penerapan syari’at Islam tanpa dilengkapi ketentuan hukum yang sejajar dan lebih tinggi, hanya menjadi celah para penegak hukum untuk melakukan penyimpangan dalam praktiknya. Aceh merupakan daerah yang mendapat legitimasi untuk menerapkan syariat Islam, sehingga membuat hukuman pidana Islam ditetapkan bukan sekedar simbolis saja, seperti hudud, qishah, dan ta’zir terhadap pelaku maksiat dan kriminalitas. Namun yang menjadi tantangan selanjutnya bagi masyarakat Aceh dalam mempertahankan syariat Islam adalah berlakunya hukum barat di Indonesia, serta kurangnya minat para ulama dan ahli hukum di Indonesia dalam mengkaji secara mendalam dan terarah mengenai syariat Islam dan keberlakuannya di dalam tatanan hukum nasional Indonesia pada umumnya serta di dalam hukum Aceh pada khususnya.

pentingnya syariat islam

pentingnya syariat islam

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:21
Ketika mendengar kata syariat Islam, apa yang terlintas di dalam benak anda? Potong tangan dan rajam? Ataukah kasih sayang dan keadilan Allah terhadap makhluk ciptaan-Nya? Jawaban itu kembali kepada tingkat keimanan kita. Seberapa tinggi tingkat keimanan kita tentunya sejalan juga dengan tingkat pemahaman kita terhadap hukum Allah tersebut.
Pengertian Syariat Islam
Syari’at, bisa disebut syir’ah, artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah. Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].
“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].
Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).
Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.
3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).
Tujuan Syariat Islam
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
Keistimewaan Syariat Islam
“Maka Kami jadikan yang demikian itu hukuman yang berat bagi orang-orang pada masa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 66).
Dalam Islam berlaku kaidah, “Tidak ada hukuman kecuali oleh sebab adanya pelanggaran, dan tidak ada pelanggaran kecuali adanya nash.” Jadi, harus ada nash terlebih dahulu baru sebuah perbuatan itu dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran, kemudian diberlakukan hukuman bagi mereka yang melanggar.
Dari sini kita akan dapat memahami betul Ke-Mahaadilan. Allah SWT yang menyatakan: “Dan Kami tidak akan mengazab hingga Kami utus rasul terlebih dahulu.” (QS. Al Israa’, 17 : 15). Allah SWT tidak akan pernah memberikan siksa atau azab kepada orang-orang kafir dan ahli maksiat di neraka nanti kecuali setelah Allah mengutus rasul kepada mereka untuk menjelaskan tentang syariat-Nya.
Orang-orang yang Islamfobia mencoba memanfaatkan kata, “Nakaala” dalam ayat tersebut di atas yang bermakna “Hukuman yang berat” dengan menyebarkan fitnah terhadap Syariat Islam dengan menyatakan, bahwa Syariat Islam itu terkesan kejam, keras, bertentangan dengan HAM, tidak manusiawi, tidak adil, zalim dan bermacam-macam tuduhan lainnya. Dan, ironisnya tidak jarang pernyataan semacam ini muncul dari orang-orang yang mengaku muslim, bahkan kadung dijuluki Cendekiawan Muslim.
Benarkah hukum Allah itu keras sebagaimana yang mereka tuduhkan? Untuk menjawab tuduhan mereka yang tidak beralasan tersebut, maka perlu dipaparkan beberapa “keistimewaan Syariat Islam” sebagai pedoman hidup. Paling tidak, ada “empat” keistimewaannya.
Pertama, bahwa dalam Islam kekuasaan “mutlak” itu hanya di tangan Allah. Kekuasaan menetapkan hukum itu hanya pada Allah, tidak pada perorangan, golongan, partai maupun pada kesepakatan seperti yang terjadi pada sistim demokrasi. Dalam Syariat Islam yang berhak menetapkan aturan dan hukum hanya Allah,“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah” (QS. Al A’raaf, 7:54). Juga firman Allah SWT pada QS. Al An’aam ayat 57; Asy Syuraa ayat 10 dan An Nisaa’ ayat 105. Maka salah satu bentuk kesesatan oorang-orang Yahudi dan Nasrani di antaranya adalah ketika, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah” (QS. At Taubah, 9:31).
Kalau kita berbicara tentang hukum, maka hanya hukum Allah-lah yang pasti adil, sedangkan hukum yang dibuat manusia sudah pasti zalim. Kenapa hukum yang dibuat manusia itu zalim? Karena tatkala manusia membuat aturan dan hukum, maka faktor subjektifitas manusianya (hawa nafsunya) ikut mempengaruhi aturan dan hukum yang dibuatnya. Inilah salah satu perbedaan yang paling mendasar antara syariat Allah dan hukum buatan manusia.
Mengapa hukum Allah itu pasti adil? Karena Allah pada saat membuat aturan tidak punya kepentingan apa pun dengan aturan yang dibuatnya (QS Al Kahfi, 18:29). Manusia mau mu’min atau kafir, mau taat atau maksiat sama sekali tidak membuat Allah beruntung atau rugi. Aturan yang dibuat oleh yang tidak punya kepentingan inilah yang dijamin adil bagi semua pihak.
Manusia dituntut untuk bisa mengendalikan kecenderungan hawa nafsunya demi kepentingan hukum Allah yang adil dan dituntut pula untuk bisa berbuat adil dalam melaksanakan hukum (QS. Al Maa-idah, 5 : 49; An Nisaa’, 4:58).
Dalam hadits Nabi Saw yang diriwayatkan Imam Bukhari dikisahkan, ada seorang wanita pada zaman Rasululllah Saw sesudah fathu Mekah telah mencuri. Lalu Rasulullah memerintahkan agar tangan wanita itu dipotong. Usamah bin Zaid menemui Rasulullah untuk meminta keringanan hukuman bagi wanita tersebut. Mendengar penuturan Usamah, wajah Rasulullah langsung berubah. Beliau lalu bersabda: “Apakah kamu akan minta pertolongan untuk melanggar hukum-hukum Allah Azza Wajalla?” Usamah lalu menjawab, “Mohonkan ampunan Allah untukku, ya Rasulullah”.
Pada sore harinya Nabi Saw berkhotbah setelah terlebih dulu memuji dan bersyukur kepada Allah. Inilah sabdanya: “Amma ba’du. Orang-orang sebelum kamu telah binasa disebabkan bila seorang bangsawan mencuri dibiarkan (tanpa hukuman), tetapi jika yang mencuri seorang awam (lemah) maka dia ditindak dengan hukuman. Demi yang jiwaku dalam genggaman-Nya, “Apabila Fatimah binti Muhammad mencuri maka akulah yang akan memotong tangannya”. Setelah bersabda begitu beliau pun kembali menyuruh memotong tangan wanita yang mencuri itu.
Yang kedua, syariat Islam bersifat komperhensif, yakni mengatur semua aspek kehidupan. Allah SWT berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl, 16:89).
Ketiga, sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia. “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Maa-idah, 5:3). Kesesuaian dengan fitrah manusia, maksudnya memandang manusia tidak sebagai hewan sehingga hanya memenuhi kebutuhan biologisnya, tidak juga sebagai malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Tetapi seimbang antara kebutuhan jasmani dan rohani (QS. Al Qashash,28:77). Bahkan dua-duanya dalam Islam tidak bisa dipisah-pisahkan antara urusan dunia dan akhirat. bila seorang muslim mencari harta itu pun harus dalam rangka dunia dan akhirat, sehingga dalam mencarinya harus sesuai dengan aturan-Nya.
Keempat, fleksibel (luwes). Ada beberapa bentuk fleksibelitas Syariat Islam, di antaranya,
Pertama, dari sisi hawa nafsu, Islam tidak menghendaki manusia itu mematikan hawa nafsu dan juga tidak menyukai manusia yang memenuhi nafsunya tanpa aturan, yang dituntut adalah upaya pengendalian (QS. Al Maa-idah, 5:87; Ali Imran, 3:134) serta tidak boleh berlebih-lebihan (QS. Al A’raaf, 7:31-32).
Rasulullah Saw bersabda: “Tiap-tiap ucapan baik tasbih, takbir. tahmid maupun tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar sedekah, bersenggama dengan isteri pun sedekah”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah melampiaskan syahwat mendapat pahala?” Nabi menjawab, “Tidakkah kamu mengerti bahwa kalau dilampiaskannya di tempat yang haram bukankah itu berdosa? Begitu pula kalau syahwat diletakkan di tempat halal, maka dia memperoleh pahala”(HR. Muslim).
Kedua, mudah dalam mengerjakan shalat, karena semua bumi ini masjid kecuali kuburan dan tempat pemandian (HR. Ahmad).
Ketiga, sangat sedikit yang dibebankan dan yang diharamkan.
Keempat, gugurnya kewajiban yang bisa diganti dengan yang lebih ringan. Gugurnya haji karena tidak mampu. Bila tidak mampu shaum boleh diganti fidiyah dan bila tidak dijumpai air untuk berwudhu boleh bertayamum (QS. Ali Imran, 3:97, Al Baqarah, 2:184; An Nisaa’, 4:43).
Kelima, dalam kondisi yang betul-betul “darurat” seorang muslim diperbolehkan melakukan yang dilarang (QS. Al Baqarah, 2:173; Al An’aam, 6:145, An Nahl, 16:115).
Keenam, pelaksanaan kewajiban ada yang mutlak harus sempurna tapi ada juga “ruksyah” (keringanan).
Ketujuh, gugurnya kewajiban berperang bagi yang tidak mampu, di antaranya orang-orang buta dan pincang (QS. Al Fat-h, 48:17).
Kedelapan, dihalalkan beberapa jenis binatang ternak yang dulu diharamkan.
Kesembilan, larangan shaum/puasa sepanjang tahun penuh.
Kesepuluh, bertahap dalam pelaksanakan kewajiban, sebagaimana pelarangan khamar (QS. Al Baqarah, 2:219; An Nisaa’, 4:43; Al Maa-idah, 5:90).
Kesebelas, tidak ada perantara antara hamba dengan Allah, baik dalam akidah maupun dalam ibadah, tidak seperti kesalahan yang dilakukan kaum Yahudi dan Nasrani (QS. At Taubah, 9:31).