pengertian syariah dan fiqih
penulis:
oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 1:08
Menelusuri Kembali Makna Fikih dan Syariat
Al-Ghazali berpendapat bahwa secara literal, fikih (fiqh) bermakna al-‘ilm wa al-fahm (ilmu dan pemahaman). (Imam al-Ghazali, Al-Mustashfâ fî ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 5. Lihat juga: Imam al-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 509; Imam asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Imam al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/9). Sedangkan menurut Taqiyyuddin al-Nabhani, secara literal, fikih bermakna pemahaman (al-fahm). (Taqiyyuddin an-Nahbani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, III/5).
Sementara itu, secara istilah, para ulama mendefinisikan fikih sebagai berikut:
Fikih adalah pengetahuan tentang hukum syariat yang bersifat praktis (‘amaliyyah) yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci (tafshîlî). (An-Nabhani, ibid., III/5).
Fikih adalah pengetahuan yang dihasilkan dari sejumlah hukum syariat yang bersifat cabang yang digunakan sebagai landasan untuk masalah amal perbuatan dan bukan digunakan landasan dalam masalah akidah. (Al-Amidi, op.cit., I/9).
Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm.3).
Sedangkan syariat/syariah (syarî‘ah) didefinisikan oleh para ulama ushul sebagai berikut:
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i (An-Nabhani, op.cit., III/31).
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-mukallafîn. (Al-Amidi, op.cit.)
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd (Al-Amidi, ibid., I/70-71).
Syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i. (Asy-Syaukani, op.cit., hlm. 7).
Dari penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa fikih dan syariat adalah dua sisi yang tidak bisa dipisah-pisahkan meskipun keduanya bisa dibedakan. Keduanya saling berkaitan dan berbicara pada aspek yang sama, yakni hukum syariat.
Fikih adalah pengetahuan terhadap sejumlah hukum syariat yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Sedangkan syariat adalah hukum Allah yang berlaku pada benda dan perbuatan manusia. Menurut Imam al-Ghazali, fikih mencakup kajian terhadap dalil-dalil dan arah yang ditunjukkan oleh dalil (makna), dari tinjauan yang bersifat rinci. Contohnya, penunjukkan sebuah hadis pada makna tertentu, misalnya nikah tanpa wali secara khusus. (Al-Ghazali, op.cit., hlm. 5). Sedangkan hukum syariat adalah perintah Asy-Syâri‘ yang berhubungan dengan perbuatan hamba, baik dengan iqtidhâ‘, takhyîr, maupun wadh‘i.
Baik fikih maupun syariat harus digali dari dalil-dalil syariat: al-Quran, Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas. Keduanya tidak boleh digali dari fakta maupun kondisi yang ada. Keduanya juga tidak bisa diubah-ubah maupun disesuaikan dengan realitas yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya, realitas masyarakat justru harus disesuaikan dengan keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar