Senin, 06 Juni 2011

apasih hukum syariah itu

apasih hukum syariah itu

penulis:

oleh Jame's Boedax Acrobat pada 19 Mei 2011 jam 0:56
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah
turunkan, jangan mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa
yang telah Allah turunkan  kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum
yang telah Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
berkehendak untuk menimpakan musibah atas mereka karena sebagian dosa-dosa
mereka. Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. (QS
al-Maidah [4]: 49).

 Sabab Nuzûl

Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Baihaqi dalam Ad-Dalâ’il
meriwayatkan dari Ibnu Abbas: Kaab bin Usaid, Abdullah bin Suraya, dan
Syasy bin Qais berkata, “Pergilah kalian bersama kami menghadap Muhammad,
mudah-mudahan kita dapat memalingkan dia dari agamanya.”
Sesampai di tempat Nabi saw. mereka berkata, “Ya Muhammad, sesungguhnya
engkau mengetahui bahwa kami adalah pendeta-pendeta Yahudi, orang-orang
terhormat, dan pemimpin-pemimpin mereka. Jika kami mengikutimu, niscaya
orang-orang Yahudi mengikuti kami dan mereka tidak menyalahi kehendak
kami. Antara kami dan mereka ada perselisihan dan kami mengajak mereka
untuk memutuskan perkara kepada engkau. Karena itu, berilah keputusan yang
memenangkan kami atas mereka dalam perkara ini, niscaya kami akan beriman
kepadamu dan membenarkanmu.”
Nabi saw. menolak permintaan mereka. Lalu turunlah QS al-Maidah ayat 49-50.1

 Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa an[i]hkum baynahum bimâ anzala Allâh (Hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah
turunkan). Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan penegasan (ta’kîd)
terhadap perintah dalam ayat sebelumnya agar berhukum Nabi saw. dengan apa
yang diturunkan Allah Swt. dan larangan menyalahinya.2 Pengulangan itu
untuk menjadikan perintah tersebut menempati  ghayât at-ta’kîd (puncak
penegasan).3
Sebagian mufassir lainnya tidak setuju dengan pendapat tersebut. Menurut
mereka, ayat ini tidak mengulangi ayat sebelumnya, namun turun pada topik
yang berbeda. Jika ayat sebelumnya turun berkenaan dengan hukuman rajam
atas pelaku zina muhshan, ayat ini turun berkenaan dengan darah dan
diyat.4
Pihak yang diperintah ayat ini adalah Rasulullah saw. Meskipun demikian,
perintah tersebut juga berlaku untuk seluruh umatnya. Sebab, khithâb
(seruan) kepada Rasul merupakan seruan kepada umatnya, selama tidak ada
qarînah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah ini hanya khusus untuk
Beliau.
Dalam hal ini, pihak yang menjadi obyek penerapan hukum, yang diungkapkan
dengan menggunakan dhamir hum (kata ganti mereka), adalah Yahudi. Demikian
kesimpulan para mufassir seperti al-Thabari, Abu Hayyan al-Andalusi,
al-Qinuji, al-Wahidi al-Naysaburi, dan lain-lain.5 Kesimpulan tersebut
amat tepat jika dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini dan ayat-ayat
sebelumnya.
Kata bimâ anzala Allâh (menurut apa yang telah Allah turunkan) tidak bisa
dilepaskan dengan ayat sebelumnya, bahwa yang Allah turunkan kepada
Rasulullah saw. adalah al-Kitab. Setelah Allah Swt. memberitakan bahwa
kepada Nabi Musa as. diturunkan at-Taurat dan kepada Nabi Isa as.
diturunkan Injil, maka kepada Nabi Muhammad saw. diturunkan al-Kitab atau
al-Quran. Sejak saat itu, hukum yang wajib diterapkan Rasulullah saw. dan
umatnya dalam memutuskan perkara adalah yang bersumber dari al-Quran.
Dengan demikian, ayat ini mewajibkan kaum Muslim agar memutuskan perkara
dengan hukum yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah. Pihak yang wajib
menjadi obyek penerapan hukum syariah tersebut tidak terbatas kaum Muslim
saja, namun juga kaum kafir. Menurut sebagian mufassir, ketentuan ini
me-nasakh (membatalkan hukum) QS al-Maidah ayat 42 yang memberikan pilihan
kepada Nabi saw. untuk memutuskan perkara kaum kafir atau tidak.6 Dalam
ayat tersebut Allah Swt. berfirman: Fahkum baynahum aw a‘ridh ‘anhum
(Putuskanlah perkara itu di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).
Mufassir dan fukaha lainnya tidak melihat adanya nâsikh-mansûkh dalam
kedua ayat tersebut. Sebab, untuk memasukkan sebuah ayat telah di-naskh
oleh ayat lain diperlukan qarînah (indikasi) yang jelas. Dalam kedua ayat
tersebut tidak ada qarînah yang jelas yang menunjukkan tentang itu.
Memang, secara lahiriah terlihat adanya pertentangan di antara keduanya.
Akan tetapi, sekadar tampak bertentangan secara lahiriah tidak otomatis
menunjukkan adanya nâsikh-mansûkh.  Masih ada kemungkinan lain yang
membuat kedua dalil tersebut justru sama-sama dapat digunakan. Kemungkinan
ini didapat dengan cara mendudukkan kedua dalil itu pada kedudukan dan
obyek masing-masing sehingga menjadi tidak bertentangan. Cara semacam ini
dikenal dengan al-jam‘u bayna al-dalîlayn (mengkompromikan dua dalil).
Inilah cara yang ditempuh oleh Imam asy-Syafii. Menurut asy-Syafii, kedua
ayat itu tidak bertentangan. Jika ayat pertama berkenaan dengan kafir
mu‘âhid (kaum kafir yang terikat perjanjian dengan Negara Islam), ayat
kedua tentang kafir dzimmi (kaum kafir yang menjadi warga Daulah
Khilafah).7Pendapat senada disampaikan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.
Menurut an-Nabhani, ayat pertama berkaitan dengan kaum kafir yang hidup di
luar wilayah Negara Islam, yakni jika ada di antara sesama kaum kafir
tersebut terlibat perselisihan dan meminta Negara Islam untuk memutuskan
perkara di antara mereka. Dalam hal ini, kaum Muslim berhak memilih antara
memutuskan hukum atau berpaling darinya. Kesimpulan ini didasarkan pada
sabab nuzûl ayat ini yang berkait dengan kaum Yahudi di Madinah yang
datang kepada Nabi saw. meminta keputusan hukum. Mereka adalah sebuah
kabilah,  yang dapat dianggap sebagai negara lain.8
Adapun ayat kedua berkaitan dengan kaum kafir yang tunduk kepada
Pemerintahan Islam dengan menjadi kafir dzimmi, musta’min (meminta
perlindungan), atau orang kafir secara sukarela masuk ke wilayah Negara
Islam untuk menjadi mu‘âhid dan musta’min.9 Tampaknya, pendapat inilah
yang râjih (kuat).
Patut dicatat, meskipun para mufassir dan fukaha berbeda pendapat tentang
ada-tidaknya nâsikh-mansûkh dalam kedua ayat itu, mereka tidak berbeda
pendapat akan wajibnya penerapan hukum syariah terhadap non-Muslim.
Selanjutnya Allah Swt. berfirman: Wa lâ tattabi‘ ahwâ’ahum (dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka). Kata al-hawâ, sekalipun kadang-kadang
digunakan untuk sesuatu yang terikat dengan kebaikan, pada galibnya
digunakan untuk sesuatu yang di dalamnya tidak ada kebaikan.10 Jika
dikaitkan dengan sabab nuzûl ayat ini, hawa nafsu yang dimaksudkan memang
mengandung makna negatif. Karena itu, frasa ini dapat dipahami sebagai
penegasan terhadap perintah sebelumnya. Ath-Thabari menyatakan, “Ini
merupakan larangan Allah kepada Nabi Muhammad saw dari mengikuti hawa
nafsu kaum Yahudi yang meminta keputusan hukum kepada beliau dalam kasus
orang-orang terbunuh dan fasik mereka, sekaligus perintah tetap konsisten
dengan Kitab yang diturunkan Allah kepada beliau.11
Selanjutnya Allah berfirman: wahdzarhum an yaftinûka ‘an ba’dh mâ
anzalaLlâh ilayka (dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu).
Menurut Ibnu Abbas12 dan Abu Ubaidah,13yang dimaksud dengan yaftinûka
(memfitnah kamu) adalah mengembalikanmu pada hawa nafsu mereka. Sebab,
setiap orang yang terpalingkan dari kebenaran pada kebatilan berarti telah
terfitnah.
Frasa ini memberikan peringatan terhadap kaum Muslim untuk berhati-hati
terhadap upaya kaum kafir yang berkeinginan memalingkan mereka dari
sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepada mereka. Dalam ayat ini
disebutkan: ‘an ba’dh mâ anzalaLlâh ilayka (dari sebagian yang diturunkan
Allah kepadamu). Jika berpaling dari sebagian saja tidak boleh, apalagi
semua. Oleh karenanya, menurut al-Jashshah dan az-Zuhaili, kata al-ba‘dh
(sebagian) bermakna al-kull (keseluruhan). Dengan demikian, frasa tersebut
bermakna: ‘an kulli mâ anzalaLlâh ilayka (dari seluruh wahyu yang telah
Allah turunkan).14
Allah Swt. mengingatkan: Fa in tawallaw fa‘lam annamâ yurîdullâh an
yushîbahum bi ba‘dhi dzunûbihim (jika mereka berpaling [dari hukum yang
telah diturunkan Allah] maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
berkehendak akan menimpakan musibah atas mereka disebabkan sebagian
dosa-dosa mereka).
Makna kata tawallaw adalah sikap berpaling dari hukum yang diturunkan
kepada Rasulullah saw. dan justru menginginkan hukum lainnya.15 Menurut
al-Alusi dan al-Wahidi an-Naysaburi maknanya lebih luas, yaitu berpaling
dari keimanan dan berhukum dengan al-Quran.16
Dalam frasa ini ditegaskan, mengabaikan hukum Nabi saw. dan berpaling
darinya menjadi sebab ditimpakannya musibah di dunia.17 Disegerakannya
azab di dunia itu karena pembangkangan mereka yang melakukan sebagian
dosa.18  Menurut Sulaiman al-Ajili, jika dalam ayat ini disebutkan bi
ba‘dhi dzunûbihim, karena memang hukuman yang diberikan kepada mereka di
dunia hanya pada sebagian dosa, seperti pembunuhan, penawanan, atau
pengusiran. Adapun hukuman atas keseluruhan dosa ditimpakan di akhirat
kelak.19
Menurut Ibnu Mas‘ud, makna bi ba‘dhi dzunûbihim (disebabkan sebahagian
dosa mereka) adalah dosa berpalingnya mereka dari hukum Allah Swt. Hal itu
untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya mereka mempunyai banyak dosa, namun
dari semua dosa itu ada yang amat besar. Secara tersirat, ungkapan ini
menunjukkan besarnya dosa berpaling dari hukum-Nya.20
Allah Swt. menutup ayat dengan firman-Nya: Wa inna katsîran min al-nâs
lafâsiqûn (dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang
fasik). Frasa ini menunjukkan, tindakan berpaling dari hukum Allah Swt.
dapat dikategorikan sebagai fisq,21orangnya disebut fâsiq. Kata fasiq
dapat dimaknai sebagai orang yang keluar dari ketaatan.22
Dalam frasa ini diberitakan, sebagian besar manusia tergolong sebagai kaum
fasik. Kenyataan ini banyak diungkap dalam al-Quran (Lihat, misalnya: QS
Yusuf [10]: 103; QS al-An‘am [6]: 116).

 Beberapa Pelajaran

Ayat ini berbicara tentang penerapan syariah di tengah-tengah kehidupan.
Ada beberapa hal penting yang bisa dicatat:
Pertama: wajibnya penerapan syariah. Syariah itu wajib diterapkan tidak
hanya kepada kaum Muslim, namun juga kepada kaum kafir. Asal mereka
menjadi warga Daulah Khilafah, syariah wajib diterapkan atas mereka.
Memang, ada beberapa perkara yang dibedakan di antara mereka, namun
perbedaan hukum itu memerlukan dalil khusus yang mengecualikannya.
Syariah yang wajib diterapkan juga harus total. Peringatan kepada Nabi saw
agar berhati-hati terhadap upaya kaum kafir yang memalingkan Beliau dari
sebagian hukum yang diturunkan-Nya menunjukkan makna demikian.
Kedua: akibat berpaling dari syariah. Ayat ini memberikan ancaman keras
kepada setiap orang yang menolak syariah-Nya. Ancaman itu berupa adanya
musibah yang ditimpakan kepada pelakunya. Musibah itu tidak hanya akan
diterima di akhirat kelak, namun juga di dunia. Hukuman di dunia ini
seharusnya membukakan mata mereka, bahwa menolak syariah hanya akan
menyebabkan kesengsaraan manusia. Semestinya hal itu membukakan mata
mereka yang menolak syariah.
Ketiga: kebenaran tidak selalu sejalan dengan suara terbanyak. Bahkan ayat
ini menyebut sebagian besar manusia terkategori fasik. Oleh sebab itu,
wajar hukum yang wajib diterapkan adalah yang berasal dari-Nya, yang pasti
dijamin kebenarannya, bukan hukum buatan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar